Hujan rintik-rintik membasahi jalan setapak menuju Pondok Pesantren Ar-Rasyid. Gerimis sore itu, seorang gadis kecil dengan koper besar melangkah ragu-ragu ke gerbang besi bercat hijau. Namanya Caca, seorang remaja berusia 14 tahun yang baru pertama kali akan merasakan kehidupan pesantren.
“Kamu santriwati baru, ya?” Seorang kakak kelas berbaju gamis biru menyapanya dengan senyum hangat. “Aku Kak Aisyah. Ayo, aku antar ke kamar.”
Caca mengangguk pelan. Hatinya masih diliputi keraguan. Ia terbiasa hidup bebas di rumahnya di kota, tidur di kamar sendiri, dan setiap pagi ibunya selalu menyiapkan sarapan favoritnya. Tapi di sini? Semua berbeda.
Hari-hari Pertama yang Berat
Malam pertama di pesantren terasa begitu panjang. Caca harus tidur dalam kamar berisi delapan orang, berbagi lemari, dan tidak ada ponsel. Pukul tiga pagi, bel berbunyi nyaring membangunkan seluruh santri. Dengan mata setengah terpejam, Caca mengikuti yang lain menuju masjid.
Hari-hari berikutnya pun terasa berat. Menghafal Al-Qur’an, belajar kitab kuning, dan mengikuti berbagai kajian. Tidak ada televisi, tidak ada internet, dan yang paling sulit, tidak ada orang tua yang bisa langsung dipeluk saat ia merasa sedih.
Satu malam, ketika sedang menghafal surah Al-Mulk, air mata Caca jatuh. Ia rindu rumah. Ia ingin pulang.
“Kamu kenapa, Ca?” Kak Aisyah duduk di sebelahnya.
“Aku nggak kuat, Kak,” isaknya. “Aku merasa nggak cocok di sini.”
Kak Aisyah tersenyum lembut. “Aku juga dulu begitu, Ca. Tapi pesantren bukan cuma tempat belajar. Ini rumah kedua kita. Lihat di sekelilingmu, ada teman-teman yang selalu mendukung, ada ustazah yang membimbing kita dengan sabar. Coba jalani dengan hati yang lapang.”
Hati yang Mulai Terbuka
Malam itu, Caca merenung. Ia teringat kata-kata ibunya sebelum berangkat ke pesantren. "Nak, ilmu yang berkah butuh kesabaran. Jangan mudah menyerah."
Keesokan harinya, Caca mencoba membuka hatinya. Ia mulai menikmati kajian tafsir, merasa damai dalam setiap sujudnya, dan menemukan kebahagiaan dalam kebersamaan dengan teman-temannya.
Bulan demi bulan berlalu, dan tanpa disadari, Caca mulai mencintai pesantrennya. Ia tidak lagi mengeluh, bahkan mulai aktif membantu adik-adik kelasnya yang kesulitan dalam hafalan.
Hingga suatu hari, ketika ibunya datang menjenguk, Caca tersenyum bangga melihat perubahan dirinya sendiri. Anak yang dulu enggan tinggal di pesantren, kini menjadi santriwati yang penuh semangat.
“Bu, terima kasih sudah mengirimku ke sini. Sekarang aku tahu, pesantren bukan sekadar tempat belajar. Ini tempat yang membentuk hati dan jiwa.”
Sang ibu tersenyum haru, sementara di kejauhan, langit pesantren memancarkan cahaya senja yang indah, seindah cahaya iman yang kini bersemi di hati Caca.
Editor: Ismahdy