Penulis: Rendy Afriansyah 
Alumni Tsanawiyah Ar-Rasyid 2019-2020

Imam namanya, Imam Mahdi kepanjangannya adalah seorang laki-laki yang dikenal baik dikeluarga maupun masyarakat desa. Sejak kecil ia suka mengaji dan selalu mendapat nilai tinggi di pelajaran agama. Ibunya (Maryam) yang melihat Imam baik perangainya berinisiatif untuk menyekolahkan Imam di pesantren. Tanpa panjang lebar Imam menyetujui permintaan ibunya itu, toh dia sudah terbiasa di lingkungan yang agamis, jadi pesantren bukan hal yang menakutkan baginya.

Pada pagi hari yang cerah, tibalah hari pendaftaran, Ibu Maryam mengantar anaknya ke pesantren tidak jauh dari rumah mereka, hanya berjarak 30 menit. Imam yang baru saja lulus dari sekolah dasar terlihat begitu polosnya, ia mendongakkan kepalanya ke atas seraya membaca tulisan "Islamic Boarding School Ar-Rasyid" di papan gapura gerbang masuk.

Setahun di Ar-Rasyid, ia tumbuh di antara lantunan ayat-ayat suci dan suara derik sandal jepit di pagi hari dari asrama menuju masjid. Setiap subuh, ia duduk di shaf pertama. Kitab kuning menjadi sahabat malamnya, dan setiap prestasi akademik ia raih dengan penuh dedikasi. Imam adalah kebanggaan ustaz dan teman-temannya. Suaranya fasih melafalkan Al-Qur’an, lisannya santun, dan sikapnya mencerminkan akhlak yang ditanamkan sejak ia pertama menginjakkan kaki di pesantren. Semua yakin, imam akan menjadi orang besar atau minimal seseorang yang hidupnya terang dalam petunjuk.

Namun, hidup adalah jalan panjang yang tak selalu lurus. Tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi di masa akan datang, bahkan semenit ke depan.

Beberapa tahun sudah berlalu, berbagai kisah telah terarungi, tibalah hari yang selama ini mereka tunggu. Wisuda akhir tahun, yang menjadi simbol perpisahan sekolah. Satu persatu nama di panggil ke podium untuk mengambil ijazah sekaligus bersalaman kepada guru-guru mereka. Kini giliran Imam untuk maju, namanya di sebut sebagai santri teladan peraih penghargaan murid terbaik. Semua bertepuk tangan dengan gembira. Termasuk ibu Maryam yang duduk di barisan para orang tua, matanya berair, bukan karena tersakiti, tetapi haru nan gembira melihat anaknya Imam telah berhasil menyelesaikan pendidikannya. Salam-salaman antar teman pun berlangsung haru, mereka tersenyum bahagia sekaligus sedih, di karenakan hari ini menjadi hari terakhir mereka bertemu.

"Selamat yah Mam" kata bagus, salah satu teman Imam. "Emang udah dari dulu aku tau kau akan menjadi santri terbaik. Ia berucap dengan penuh kebanggaan sebagai teman.

Terima kasih Gus, biarpun kau tidak menjadi yang terbaik di sini tetapi kau tetap menjadi yg terbaik versi kedua orang tuamu, karena sudah bertahan sejauh ini.

"Kemana kau akan lanjut sekolah?" Ujar Bagus.

"Aku sudah mendaftar disalah satu universitas kota Medan". Balas Imam

Bagus yang mendengar sedikit terkejut. "Ehh.. Orang macam kau ini cocok nya ke Yaman, Mesir, yang ada Arab-Arab nya lah."

Imam tersenyum, lalu berucap, "Dimana pun sama Gus, semua tergantung orangnya."

Beberapa bulan kemudian, nama Imam keluar sebagai mahasiswa yang di terima di fakultas dakwah. Ia dan ibunya pun merasa senang. Sampai lah di Kota Medan, wajah yang berbeda dari suasana kampung, gedung-gedung menjulang tinggi, seperti ingin menggapai langit. Ia merasa takjub dengan keindahan yang ia lihat. Di kos, Imam tinggal bersama teman-temannya yang baru saja ia kenal. Kebetulan mereka satu universitas hanya saja beda jurusan, ekonomi.

Di awal perkuliahan, Imam masih menjaga almamaternya, sebagai lulusan pesantren. Sholat lima waktu ia jaga, bangun sebelum subuh, membaca Al Qur'an pun masih ia sempatkan walau di tengah kesibukannya sebagai mahasiswa.

Tapi lambat laun, denting waktu di perkuliahan berbeda nadanya.

Lingkaran pertemanan mulai berubah. Ajakan nongkrong hingga larut malam, pesta kecil, dan rasa penasaran akan “kebebasan” mulai merambat perlahan. Imam, yang dulu sangat menjaga pandangan, kini mulai menatap dunia dengan mata yang berbeda. Imam yang anti dengan minum alkohol, mabuk-mabukan, kini ia mulai mencicipinya perlahan.

"Nyobak-nyobak katanya," mumpung masih muda.

Tapi coba-coba itu telah menjadi kebiasaan. Nilai-nilai pesantren yang dulu ia genggam erat, satu demi satu terlepas dari tangannya. Shalat tinggal. Mengaji lupa. Bahkan pada titik tertentu, ia merasa risih saat dipanggil “Ustadz” oleh teman kampus yang dulu segan padanya. Uang dari ibunya makin sering diminta. “Untuk buku,” katanya. Untuk keperluan kuliah. Padahal kenyataannya, uang itu habis untuk kesenangan dunia.

Bu Maryam percaya, Ia menjual kalung kawinnya, menggadaikan sawah kecil di belakang rumah, semua demi pendidikan anaknya. Ia hanya ingin melihat Imam sukses.

Tapi nyatanya, Imam yang dulu dikenal perangainya yang apik, berprestasi. Kini sama sekali tidak terlihat didirinya. Ia tidak bisa mengontrol dirinya lagi, kecanduan alkohol dan mabuk-mabukan, jam tidur yang berantakan membuatnya menjadi Imam yang nakal.

Di suatu malam yang hening dan sepi. Waktu menunjukkan pukul 03.30 dini hari. Imam baru pulang dari kota, setelah beberapa jam tenggelam dalam hiruk-pikuk yang tak mencerminkan dirinya.

Wajahnya lesu. Bukan karena lelah semata, tapi karena pikirannya penuh beban. Sepanjang perjalanan, hanya lampu jalan yang redup dan suara jangkrik yang menemaninya. Setiap langkahnya seperti menggemakan suara hati yang berantakan. Dia baru saja keluar dari pergaulan yang salah. Malam itu, setelah berbulan-bulan larut dalam kehidupan malam, alkohol, dan teman-teman semu, ada sesuatu dalam dirinya yang runtuh. Ia merasa kosong. Tak lagi menemukan rasa.

Imam duduk di balkon kosannya. Ia duduk sambil berpeluk dengkul menatap langit-langit yang penuh dengan bintang gemerlapan dengan tatapan kosong. Tiba-tiba, tak terasa air mata perlahan mengalir di pipi nya.Imam menangis untuk pertama kali setelah sekian lama. Bukan karena sedih, tapi karena rasa hampa yang tak bisa ia definisikan. Ia sadar, ia telah jauh. Jauh dari dirinya yang dulu, jauh dari Tuhannya. Ia kecewa dengan dirinya sendiri. Ia merindukan suara azan dari musala kecil di ujung pesantren. Ia rindu bau tanah selepas hujan yang menemaninya menghafal Al-Qur’an. Ia rindu dirinya yang dulu, yang percaya bahwa hidup punya arah, bahwa dirinya adalah sesuatu yang bermakna.

"Kemana aku yang dulu.." Lirih Imam sambil terisak oleh tangisan, wajahnya penuh dengan air mata.

Malam itu juga, Imam mengambil wudu. Walaupun ia merasa hampa tapi di hati kecilnya masih tersimpan cahaya Tuhan. Tangannya gemetar, tapi ia biarkan air menyentuh wajahnya seperti air mata Tuhan yang jatuh dari langit. Ia shalat. Meskipun bacaan suratnya tersendat sesekali oleh tangisan. Bayangan-bayangan kekecewaannya tergambar di benaknya. Hidupnya tak langsung berubah seketika. Tapi malam itu adalah titik balik. Ia tahu, arah bisa hilang, tapi kompas hati tak pernah benar-benar mati.

Perlahan sinar pesantren itu mulai hidup kembali. Imam mendapatkan jalan kehidupannya, setelah sekian lama tersesat. Dan langit pesantren—meski kini jauh—selalu siap menyambut anak-anaknya pulang.

Serba Serbi Terbaru

Terbawa Arus 04 Juli 2025
Bayang-Bayang Langit Pesantren 03 Juli 2025
CAHAYA IMAN CACA 22 April 2025
Tolak Gabut Ala Santri di Rumah 25 Maret 2025