Penulis : HAFIZA KHUMAIRA SIREGAR

Kelas : 2(Menuju Kelas 3 Tsanawiyah)

              Terdengar suara riuh dari luar rumah Halim anak-anak desa pagi itu telah bangun dan bermain semua tengah menikmati liburannya dengan bermain dengan teman temannya. Berbeda dengan Halim, ia sibuk gamenya sendiri suara riuh yg tercipta oleh imajinasinya sendiri memenuhi kepalanya tembakan demi tembakan menggelegar di telinganya sahut suara Ibunya memanggil dirinya tak lagi dihiraukannya ia terlalu sibuk dengan permainan yg tengah ia mainkan pada gadgetnya sontak Ibunya mengelus dadanya bertanya pada dirinya sendiri apa gerangan yang membuat anaknya tak lagi mendengarkan dirinya.

Di luar sana banyak orang yang memanggil namanya menanyakan keberadaan Halim kepada Ibunya, Ibunya tak tahu ingin menjawab apa, hanya dapat pasrah untuk menjawabnya ketika jam makan malam, Ayahnya menanyakan dimana gerangan Halim anaknya berada, sang Ibu tak menjawabnya hanya tertunduk sambil melirik ke arah kamar Halim yang kunci rapat.

Ketukan pintu terdengar pelan berubah menjadi keras, ketika pintu tak kunjung terbuka Ayahnya sudah tak lagi cemas melainkan marah keduanya mulai berputus asa dan terdengar Ayahnya itu berkata jika ingin makan lakukan sendiri, tak lama kemudian terlihat Halim keluar dari kamarnya tak luput dengan gadget di tangannya. Ibunya segera beranjak dari tidurnya menyiapkan keperluan makan anaknya, Ketika makan pun Halim tetap memainkan permainan online miliknya. Terlihat pada celah kecil kamar Halim, Halim tengah sibuk megikuti tren velocity dan merekamnya. Dirinya menghadap ke layar kamera dengan segala jenis velocity dimainkannya mulai dari stecu, minum susu,caku kuat tanpa drama,ccaku dah lupa, sampai velocity garam dan madu.             

Hari demi hari berlalu saatnya perpulangan tiba Halim merengek tidak ingin kembali ke pesantren tetapi Ayahnya bertindak keras memaksa Halim dan memarahinya agar kembali ke pondok pesantren, padahal hati Ayahnya itu sungguh remuk. Ketika memarahi Halim anak kesayangannya itu itu merasa kasihan dan tak tega tetapi sebaliknya Halim malah merasa bahwa Ayahnya sangat benci kepada sehingga memaksanya kembali ke pesantren.

Sesampainya di pesantren Halim menangis terisak-isak ia terus meminta agar pulang ke rumah dan dirinya tidak lagi berada di pesantren dengan kata lain ‘MONCOT’, tetapi Ayah dan Ibunya tidak mengijinkannya mereka memilih untuk meninggalkan Halim begitu saja tanpa memperdulikan jeritan Halim memanggil kedua orangtuanya, sesampainya di mobil pecah tangis keduanya.

Beberapa hari kemudian Halim dikabarkan cabut dari pesantren Ustadz Hanif beserta ustadz lain mencari keberadaan Halim di bantu oleh para santri dan polisi. Ustadz Hanif menelepon orangtua Halim dan memberitahukan pasal kehilangan Halim, mendengar hal itu orangtua Halim menangis dan memohon kepada pihak pesantren dan polisi agar segera menemukan Halim. Beberapa saat kemudian, Halim ditemukan oleh seorang santri bernama Sulaiman di sebuah warnet kecil tak jauh dari lingkungan pondok pesantren khayalan.

Sejak saat itu Halim sering ditemukan bolos sekolah, sering tidur di kelas, melawan terhadap guru dan kakak kelas, bahkan terkadang ia pura-pura sakit agar tidak masuk kelas, semua itu dilakukannya agar dirinya dikeluarkan dari sekolah namun, semua upaya yang dilakukan Halim gagal malahan itu semua hanya membuat dirinya menjadi buronan pesanteren baik itu dari segi bahasa, ibadah, pendididkan, kesehatan dan juga keamanan.             

Tak jarang dirinya terciduk tengah merokok dan memanjat pagar sekolah, upaya pertama dirinya untuk kabur dari pesantren dan dikeluarkan dari pesantren, tetap saja ia selalu ketahuan dan seribu rencananya terbongkar habis. Sulaiman selalu menegurnya namun ia tak acuh bahkan terkadang Sulaiman menggeretnya ke masjid untuk sholat begitu juga dengan berangkat ke sekolah tak jarang Sulaiman terlambat masuk kelas karena memujuk Halim yang tak mau masuk kelas untungnya para ustadz memaklumi keterlambatan Sulaiman yang pastinya dikarenakan oleh Halim yang mengulah dan ustadz Hanif tak berhenti mengelus dada.

Ketika ujian semester tiba Halim tak dapat menjawab satupun pertanyaan yang ada, jikapun dapat menjawab dipastikan itu salah namun tak terfikirkan olehnya untuk mencontek ia lebih memilih untuk diam dengan tenang di kursinya membiarkan lembar jawabannya kosong melompong hanya tertuliskan namanya disana Sulaiman kembali menasihatinya untuk mengisi lembar jawabannya kemudian dengan jengkel ia menulis sepatah dua patah kata dilembar jawabannya setelah itu mengumpulkannya. Menjelang sore hari ustadz Hanif memanggil Halim melalui Sulaiman untuk menghadap dirinya. Sulaiman dengan tabah mencari keberadaan Halim Ketika bertemu Sulaiman mendapati Halim tengah merokok di belakang pesantren, alangkah terkejutnya dirinya melihat kejadian itu ia langsung menggeret Halim menghadap ustadz Hanif dengan sebatang rokok yang masih melekat pada mulut Halim melihat hal itu kepala ustadz Hanif terasa berat tetapi dirinya hanya dapat terseyum tipis.

Hari menegangkan bagi para santri tiba, tapi tidak dengan Halim dirinya merasa hari sama dengan hari lain hanya saja hari mereka akan bagi rapor itu saja. Ia lebih senang memikirkan hari esok, hari dimana perpulangan tiba ia merasakan senang yang teramat amat sampai namanya diumumkan sebagai satu satunya siswa kelas 3 Tsanwiyah yang tidak naik kelas dan tidak lulus sekolah tingkat Tsanawiyah dirinya amat terpukul dengan pengumuman yang melabelkan namanya. Hatinya tak tenang hingga esok hari.

Jantungnya berdetak kencang ketika orangtuanya memasuki kantor kepala sekolah terlihat mata Ibunya mengeluarkan air mata. Hal itu menjadi pelajaran baginya mulai saat itu dan detik itu dirinya berjanji kepada dirinya sendiri dan bertekat menjadi anak baik yang rajin belajar agar tak membuat orangtuanya sedih.

Serba Serbi Terbaru

Terbawa Arus 04 Juli 2025
Bayang-Bayang Langit Pesantren 03 Juli 2025
CAHAYA IMAN CACA 22 April 2025
Tolak Gabut Ala Santri di Rumah 25 Maret 2025